Penerapan Kawasan tanpa Rokok Hanya di Wilayah Tertentu

PEKANBARU-Oketime.com- DPRD Pekanbaru masih melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pemko Pekanbaru memastikan jika disahkan, perda ini tidak akan berdampak pada pelaku ekonomi kreatif. Pasalnya, tidak semua wilayah di Kota Pekanbaru ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Kabag Hukum Setko Pekanbaru Edi Susanto memastikan tidak semua wilayah di Kota Pekanbaru diberlakukan ketetapan KTR. Artinya, para pelaku ekonomi kreatif dan turunannya tidak perlu risau dengan KTR. Nantinya setelah disahkan menjadi perda, akan ada ketentuan turunan penerapan KTR dengan dikeluarkannya Perwako.

”Kalau tidak salah, sebelumnya mereka, perwakilan pihak industri termbakau itu diundang oleh Pansus DPRD untuk dimintai masukannya terhadap Ranperda KTR. Artinya KTR tidaklah berdampak terhadap para pelaku ekonomi kreatif, kan tidak semua wilayah dan lokus-lokusnya akan ditentukan,” ujar Edi, Jumat (30/8).

Sementara itu, pembahasan Ranperda KTR ini menjadi perbincangan pelaku ekonomi kreatif di Kota Pekanbaru. Mereka mengaku takut Perda KTR akan berdampak kepada usaha mereka nantinya.

Micco, salah satu pelaku UMKM kafe dan restoran di Pekanbaru mengatakan, hal yang memberatkan dirinya adalah soal pelarangan mempromosikan, mengiklankan, menjual dan/atau membeli rokok yang dipandang melebihi aturan KTR pada umumnya. Selain itu dalam Ranperda KTR juga disebutkan sejumlah tempat seperti kafe, restoran, hotel, tempat wisata atau rekreasi dan tempat hiburan termasuk lapangan umum akan terancam steril dari kegiatan yang disponsori rokok.

”Ranperda KTR ini sangat memberatkan kami para pelaku UMKM. Sebagai gambaran, jika pelarangan total dilakukan di kafe dan restoran, minimal ada 10 hingga 40 tenaga kerja yang terdampak untuk usaha kecil. UMKM akan sangat down. Pemerintah apakah bisa memberi alternatif pengganti pendapatan jika ada pengurangan tenaga kerja,” ujar Micco, Jumat (30/8).

Dia menilai Ranperda KTR ini berdampak masif pada denyut perekonomian masyarakat. Terutama segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang tengah bangkit dari masa krisis pasca-pandemi Covid-19. Apalagi di dalam Perda KTR tersebut ada pasal yang menyebutkan bahwa adanya tambahan zonasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship dengan radius 500 meter dari kawasan tanpa rokok yang ditetapkan.

”Realitanya, iven yang disponsori oleh produk tembakau telah menggerakkan penjualan dan promosi dari UMKM, kafe hingga restoran. Jika disahkan, Perda KTR ini akan berdampak kepada usaha warga termasuk UMKM. Kami mohon pada pemerintah agar melihat realita sebelum membuat peraturan. Bisa habis ini ekonomi masyarakat,” jelasnya.

Adapun produk tembakau, disadari Micco adalah produk yang hanya bisa dikonsumsi oleh orang dewasa. Dalam aktivitas iklan, promosi dan sponsorship sebuah iven, banyak batasan-batasan dan aturan yang sudah diterapkan. ”Kami selalu taat dengan batasan aturan itu. Jangan lah dibuat peraturan yang ujungnya membunuh ekonomi. Kalau ranperda ini sampai disahkan, sikap Pemerintah sangat mengecewakan kami,” tambahnya.


Sedangkan akademisi dan pengamat kebijakan publik Universitas Islam Riau (UIR) Dr Moris Adidi Yogia MSi mengenai pembahasan ranperda KTR yang mengundang komentar negatif pelaku usaha kreatif menilai pelarangan rokok pada Kawasan tertentu tidak bisa dilakukan secara saklek dan frontal.

”Harus berkelanjutan, bertahap tapi jelas arahnya ke mana. Karena, kalau ujug-ujug yang rugi semua sektor ekonomi nanti,” kata dia.

Moris kemudian mengulas, secara substantif, rokok merupakan penyumbang cukai terbesar dalam APBN. ”Dan sumbangsih dalam pembangunan cukup besar. Hanya saja memang ada konsesi internasional untuk pembatasan rokok pada bidang tertentu. Sejarah rokok di Indonesia panjang. Sumbangan terbesar pada awal kemerdekaan itu dari pabrik rokok terbesar. Tembakau dengan masyarakat Indonesia itu cukup dekat. Keseharian Masyarakat dengan tembakau cukup akrab,” paparnya.

Karena itu, dia menyebutkan kebijakan pembatasannya juga tidak bisa dilakukan membabi buta karena akan menimbulkan perlawanan. “Sementara petugas penegak kebijakan tidak punya instrumen hukum untuk menegakkan kebijakan tersebut,” jelasnya.

Moris kemudian memberikan gambaran bagaimana di Korea Selatan dan Jepang dalam memnatasi rokok dan produknya. Disana memerlukan waktu bertahun-tahun. ”Contoh Jepang dan Korea Selatan, itu negara perokok. Mereka 15 tahun sosialisasi sampai akhirnya menerapkan zona kuning untuk perokok, di luar itu akan ditegur. Jadi bukan langsung menerapkan kebijakan secara saklek. Kalau membabi buta, dampaknya banyak, distributor, penjual, penyalur dan bidang kerja terkait lainnya akan kena. Bisa ada efek domino, menimbulkan pengangguran. Pengangguran bisa memunculkan kejahatan,” tegasnya.

Karena itu pula, Moris menegaskan, jika pemko akan mengetatkan KTR, maka harus cerdas dalam penyusunan kebijakannya. ”Kalau mau buat KTR, pemerintah harus cerdas dulu, buat simulasi-simulasi. Kemampuan pemerintah mengeksekusi kebijakan harus seiring dengan simulasinya. Jangan nanti menambah beban kerja penegak kebijakan. Pemerintah harus mampu mengakomodir keperluan semua pihak. jangan ada yang dirugikan,” katanya.(***)


Sumber: Riaupos