Rubrik OPINI

Surat Terbuka TAPI Tertutup untuk Alas

Oketime.com - Tiba-tiba ada yang mengirim link opini dari sebuah media online yang ditulis oleh ALAS, dengan judul: Surat Terbuka untuk Abdul Somad. Katanya terbuka, tapi saya yakin bahwa penulisnya menggunakan nama samaran alias nama pena, yang nama pena itu pun, masih disingkatnya jadi nama penulis.

Katanya surat terbuka, tetapi sesungguhnya ianya adalah surat tertutup dan penakut, karena tidak berani secara langsung menuliskan nama asli di surat itu. Pengecut, karena tak berani unjuk diri, siapa dia sesungguhnya.

Tak lama setelah link opini itu dikirim, tiba-tiba masuk pesan whastApp ke hp saya, dan menyampaikan nama asli penulisnya. Kok tahu? Ya mudahlah. Bagi sesama penulis, mengetahui gaya kepenulisan orang itu sangat mudah. Seperti sebegitu mudahnya mengenal tulisan sang ALAS ini. Gaya bahasanya khas. Tapi sepertinya, Alas ini sudah lama menjadi alas kaki dari penguasa negeri yang saat ini sedang galau, melihat Ustadz Abdul Somad (UAS) berjalan bersama Abdul Wahid menyapa warga yang selama ini kurang diperhatikan.

Sang Alas dalam surat terbuka itu menyentil tentang kaos yang dipakai Abdul Wahid dan UAS. Tapi yang jadi pertanyaan, kok UAS yang diserang?

Tak ada asap kalau tak ada api. Tulisan di koas yang dipakai Abdul Wahid dan UAS itu berbunyi: Riau Rumah Semua Suku. Adakah yang salah dengan kalimat ini? Pasti tidak, karena kenyataan memang seperti itu. Tapi oleh alas kaki menyebutnya, sebagai kalimat tendesius dengan menggiring opini bahwa Riau tidak kondusif.

Bandingkan dengan postingan H Nobel di media sosial. Layakkah Nobel sebagai pendukung Syamsuar menulis : Pilihan Kita Putra Riau Asli Riau Untuk Gubernur dan Wakil Gubenur Riau Suwai👍👍. Apakah kalimat Nobel ini tidak masuk dalam katagori Rasis? Ah, sudahlah, biar aparat keamanan yang memanggilnya.

Kita lanjutkan ke surat terbuka tapi tertutup itu. Dalam surat itu, sang penulis surat mendedahkan tentang gelar yang diberikan LAM Riau ke UAS yang nota bene, kata sang penulis, UAS juga seorang perantau di Riau ini. Dan yang lebih menggelitik lagi, sang penulis mempertanyakan, mengapa UAS telajak melukai hati masyarakat Melayu Riau.  

Saya tidak mau panjang lebar membahas tentang gelar adat yang diberikan kepada UAS yang disentil sang penulis. Namun yang menjadi aneh adalah, ketika menyebut bahwa UAS melukai hati masyarakat Melayu Riau.

Hati masyarakat Melayu Riau yang mana yang dilukai UAS? Hati kamu kali, karena UAS tidak mendukung calon yang Alas dukung. Jangan mudah mengklaim masyarakat Melayu, kalau anda belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat Melayu di Riau ini. Tepuklah dada, tanya selera, apakah layak membandingkan apa yang anda sudah lakukan dengan apa yang sudah UAS buat? Tak ada seujung kukunya, karena saya adalah saksi sejarah setiap UAS masuk ke suku terasing di Riau ini. Sementara Anda, Alas, hanya bisa menadahkan tangan menanti cairnya APBD untuk sebuah even, yang sisa dari kegiatan itu dibawa balek untuk memberi makan anak bini. Terus, dengan mudah menuduh UAS telah menyakiti masyarakat Melayu Riau. Logika apa yang dipakai sang Alas ini?

Nah, lucunya lagi sang penulis enggan menulis nama UAS dengan sebutan ustadz atau ulama, dengan alasan, seorang tim sukses selalu menghalalkan segala cara untuk memenangkan calonnya. Emangnya kapan ada suka dengan ulama? Emangnya kapan terakhir anda pergi sholat subuh di masjid, dan sekarang, seolah-olah menjadi orang yang sok paham agama dengan segala atribut yang melekat padanya, dan menyebut enggan menulis namanya dengan sebutan ulama atau ustadz. Anda waras? Oh ya, Anda sudah tobat?

Apapun sebutan yang Anda berikan kepada UAS, tidak akan berpengaruh kepada UAS. Mau anda menulis namanya dengan sebutan ulama, ustadz atau datok sri sekalipun, tak berefek ke UAS, karena bagi UAS, kemulian seseorang itu bukan bergantung pada pangggilan yang disematkan, tetapi semuanya anugrah dari Yang Maha Kuasa.

UAS bukan anda Alas, yang merasa terganggu karena calon yang diusung tidak didukung. UAS tidak punya kepentingan pribadi dengan orang yang dia usung. UAS hanya ingin, jika calon yang didukungnya menang, bisa memperjuangkan agama Allah. Tidak seperti anda, mendukung karena mau mendapatkan keuntungan pribadi, menyusu ke APBD, mengulurkan tangan bak pengemis dipinggir jalan. *

Penulis NN